Modernis.co, Malang – Rakyat di negeri ini sepertinya tak berhenti dibuat terkejut dari para pengampu kebijakan. Lihatlah bagaimana rencana pemerintah terhadap pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada kebutuhan dasar rakyat yakni sembako dan sekolah melalui revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), semakin memberi beban rakyatnya.
Dalam draft tersebut bahan kebutuhan pokok yang dikenakan PPN antara lain, beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.
Adapun objek jasa baru yang akan dikenai PPN, seperti jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan dan asuransi. Lalu, jasa pendidikan, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa angkutan udara dalam dan luar negeri, jasa tenaga kerja, dan seterusnya (kompas.com, 11/06/2021)
Dalam sebuah utas di Twitter, Staf Ahli Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo memberikan penjelasan mengenai PPN. Menurutnya, aturan ini masih sebatas rancangan yang dipersiapkan di masa pandemi karena sebelumnya “kita bertumpu pada pembiayaan utang karena penerimaan pajak turun” (bbc.com, 11/06/2021)
Miris, negeri yang gemah ripah lo jinawi ternyata hidup dari utang dan pajak. Akibat doyan berutang hingga tembus Rp 6.445 Triliun per Maret 2021, kantong rakyat makin diperas untuk menanggung pembayaran utang dengan pengenaan pajak dimana-mana. Sungguh nestapa, beban rakyat semakin berat kesejahteraan semakin utopis.
Dalam sistem keuangan kapitalisme, sah saja jika fungsi pajak sebagai budgeter, yakni pajak menjadi sumber utama pendapatan Negara. Hal ini karena pajak merupakan bagian dari kebijakan fiskal yang dapat membantu Negara untuk mencapai kestabilan ekonomi dan bisnis. Maka, wajar saja jika secara kualitas terjadi perluasan jenis barang atau jasa yang dikenai pajak maupun secara kuantitas adanya kenaikan tarif pajak.
“In this world nothing can be said to be certain, except death and taxes” (Di dunia ini tidak ada yang bisa dikatakan pasti, kecuali kematian dan pajak). Ungkapan seorang politisi Amerika Serikat, Benjamin Franklin yang memahami betul karakteristik dari sistem ekonomi kapitalisme. Tak dipungkiri, inilah yang juga diadopsi oleh negeri ini hingga meniscayakan rakyat makin tercekik status kemiskinan.
Dari persoalan tersebut, pertanyaannya, apakah negeri ini mampu sejahtera dengan membiayai dirinya tanpa utang dan pajak sebagaimana ala sistem ekonomi kapitalisme?
Tentu jawabannya sangat bisa dengan ketentuan menggunakan sistem politik ekonomi Islam yang akan memberikan gambaran jelas dalam pengaturan kebijakan keuangan baik menyangkut sumber pendapatan Negara maupun alokasi penggunaannya diperuntukkan hanya untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan rakyat.
Terdiri dari 4 sumber pendapatan Negara yakni:
Pertama, pengelolaan atas kepemilikan umum berupa sumber daya alam seperti kekayaan hutan, minyak, gas, emas, dan barang tambang lainnya. Haram untuk diprivatisasi atau dijual oleh individu maupun sekelompok orang (swasta).
Hasil pengelolaan negara atas harta milik umum ini diberikan ke rakyat secara cuma-cuma atau dengan harga murah sehingga rakyat bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kedua, pengelolaan atas kepemilikan Negara berupa harta fa’I, kharaj, ghanimah, ‘usyur, jizyah, dan harta milik Negara lainnya.
Harta milik Negara digunakan untuk berbagai kebutuhan yang menjadi kewajiban Negara untuk mengatur dan memenuhi urusan rakyat seperti menggaji pegawai, akomodasi jihad, pembangunan sarana dan prasarana publik, dan lain sebagainya.
Ketiga, harta dari zakat. Zakat adalah ibadah bagi kaum muslimin yang ketentuannya bersifat tawqifi (telah ditetapkan syariat) baik pengambilannya maupun distribusinya.
Keempat, harta yang sifatnya temporal, berupa infaq, wakaf, sedekah, harta dari orang-orang murtad, sisa harta warisan atau yang tidak memiliki ahli waris, dan lain-lain.
Dari sini terlihat betapa besar sumber pemasukan Negara jika mengadopsi sistem politik ekonomi Islam sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat tanpa harus berutang atau mengambil pajak. Kemudian bagaimana dengan pajak dalam sistem ekonomi Islam?
Mekanisme pemungutan pajak dalam sistem ekonomi Islam tentu berbeda dari sistem ekonomi kapitalisme. Dalam sistem ekonomi Islam, pajak tidak diperbolehkan bahkan haram memungut pajak secara permanen dan terstruktur. Pajak bukan sebagai pendapatan utama (budgeter) sebagaimana kapitalisme tetapi hanya sekedar salah satu pendapatan yang insidental dan temporal.
Pajak hanya akan diambil dari kaum muslimin yang kaya ketika Baitul Mal kosong atau tidak mencukupi sementara ada pembiayaan yang sifatnya wajib dan dapat menimbulkan bahaya bagi kaum muslimin, misal kebutuhan peperangan.
Demikian, keunggulan dari sistem ekonomi Islam. Memberikan jaminan dalam pemenuhan kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, dan papan bagi setiap individu warga Negara dengan mekanisme langsung maupun tidak langsung. Selain itu, menjamin kebutuhan mendasar yang sifatnya komunal seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis, berkualitas, dan bebas pajak.
Penerapan sistem ekonomi Islam tersebut hanya dapat ditegakkan oleh sebuah Negara yang berdiri berasaskan Islam. Secara historis telah dibuktikan oleh para khalifah dalam kekhilafahan Islam yang telah mengurus rakyat dengan baik sebagai bentuk ibadah kepada Allah.
Rasulullah SAW bersabda: “Imam (kepala Negara) adalah pemelihara/pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rakyatnya” (HR. Bukhari-Muslim). Hal ini diakui oleh sejarahwan Barat, Will Durant dalam the story of civilization, vol. XII, p.151, atas kesejahteraan rakyat dibawah naungan sistem Islam.
“Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka”
Kegemilangan peradaban tersebut merupakan salah satu hikmah dan rahmat yang Allah jaminkan ketika syariat-Nya diterapkan secara komprehensif dalam kehidupan. Maka bukankah sudah cukup bagi kita untuk tidak lagi berkhayal dengan janji manis yang ditawarkan dari sistem hari ini?
Wallahu’alam
Oleh : Putri Dwi Kasih Anggraini, Mahasiswi Pascasarjana Unhas